Senin, 23 Juli 2012

Ketika rasa kebaikan hati beranjak pergi dari diri (melihat sisi lain dari rasa kebahagiaan)


Kebaikan hati saat ini seolah telah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk kita
miliki dan temui saat ini. Memilikinya ibarat menyimpan bara dalam
genggaman. Kebaikan hati akan membuat kita tidak 'competitive' dalam
dunia yang keras ini. Hati yang lembut dan lebih 'manusiawi' hanya akan
menghambat kita dalam meraih sukses. Sebaliknya, hati yang 'tegaan' dan
lebih 'rasional' dianggap akan lebih melapangkan jalan keberhasilan.
Menemui kebaikan kini juga seolah semakin sulit. Kita semakin suka
berprasangka atas kebaikan yang kita lihat. Tidak ada kebaikan yang
tulus, semua pasti ada 'sesuatu' di baliknya. Tidak ada makan siang yang
gratis. Bahkan kebaikan hati kini sering dituding sebagai penyebab
keterpurukan dan nasib sial. Ketika seorang teman ngemplang tidak
membayar hutang, orang-orang mempersalahkan saya. Saya dianggap 'terlalu
baik' dan tidak berhati hati sehingga mudah tertipu tampilan luar
seseorang. Dan tidak ada seorangpun yang mempersalahkan! Teman yang
ngemplang tersebut!

Berbagai kejahatan dari kelas teri hingga kelas kakap yang kita saksikan
sehari-hari di media cetak dan televisi, semakin membekukan hati kita.

Selalu waspada dan jangan pernah lengah. Berbaik hati hanya akan
menurunkan kewaspadaan dan membuat kita tertipu dan celaka. Saya pun
larut dalam arus besar itu. Sampai suatu ketika di akhir November lalu
saya menonton sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi
swasta.

Di acara tersebut seorang aktor akan berlakon sebagai orang yang
membutuhkan pertolongan. Lalu ia akan meminta tolong pada semua orang
yang ditemuinya secara acak. Orang yang memberi pertolongan akan
mendapatkan hadiah. Semua kejadian di rekam oleh kamera tersembunyi
sehingga diyakini bahwa orang yang menolong itu benar benar tulus.

Pada edisi itu, ditampilkan seorang nenek tua yang kumal dan lusuh
penampilannya, dan diskenariokan meminta minyak tanah ala kadarnya
untuk memasak. Sang nenek pun berkeliling dari pintu ke pintu,
lengkap sambil menenteng kompor dan jerigen minyak yang juga tak kalah
kumalnya dengan penampilan si pemilik.

Bertemu orang pertama, sang nenek ditolak secara halus. Berikutnya, di
sebuah warung kelontong yang cukup besar dan ramai, sang nenek kembali
ditolak. Si pemilik warung terlihat waspada dan 'menginterogasi' si
nenek, curiga si nenek adalah penipu. Berikutnya di sebuah rumah
sederhana, sang nenek kembali ditolak, bahkan dengan kasar.

Sampai akhirnya sang nenek bertemu dengan seorang lelaki setengah baya
pengecer minyak tanah yang sedang mengisi stok minyak di sebuah warung.
Seorang lelaki yang gigih. Kerasnya kehidupan tampak jelas tergurat di
wajahnya yang hitam berpeluh. Namun wajah itu terlihat ramah dengan
senyum. Seperti sebelumnya, tanpa basa basi, sang nenek menghampiri dan
meminta minyak tanah kepada si penjual itu. Si penjual minyak tanah
tampak sabar dan tekun menyimak penjelasan si nenek. Selesai sang nenek
bercerita, tanpa berkata apa-apa, si penjual minyak langsung mengambil
jerigen si nenek dan mengisinya. Tetap dengan wajah ramahnya. Tak ada
sedikitpun rona kecurigaan, apalagi pertanyaan pertanyaan 'interogasi'.
Bahkan ketika sang nenek 'ngelunjak' meminta kompor bututnya diperbaiki
pula, si penjual minyak tetap melayaninya dengan ramah. Tak ada
sedikitpun perubahan rona di wajahnya.
Benar-benar tulus, tanpa prasangka!

Jadilah si penjual minyak 'pemenang' di acara tersebut. Ketika berikutnya sang
pemenang diwawancara, semakin terkuaklah 'mutiara' itu. Pengecer minyak
tanah itu ternyata cacat. Slamet, lelaki setengah baya itu, terlahir
dengan kedua kaki yang cacat dan sebelah mata buta!. Setiap hari ia
mencari nafkah berjualan minyak berkeliling perumahan, keluar-masuk
kampung, menyusuri jalan raya, dengan sebuah sepeda tua yang dikayuh

dengan sebelah tangannya!

Dan mengalirlah kemudian kisah tentang sebuah ketegaran jiwa, ketulusan
menjalani garis hidup, kegagahan menghadapi kerasnya ombak zaman, dari
seorang Slamet. Dan wawancara diakhiri dengan sebuah kalimat yang begitu
menggetarkan dari Slamet, "Saya percaya Tuhan itu Maha Adil". Seketika
itu, runtuhlah semua kesombongan diri, hancur berkeping diterjang
gelombang kesederhanaan. Musnah semua arogansi
intelektualitas, tenggelam dalam kebeningan perasaan. Lepas segala
ambisi dan nafsu duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang
hamba, hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya. Dengan semua
ujian hidup yang begitu berat, dia tetap tersenyum ramah kepada
siapapun, menolong semua tanpa membeda-bedakan walau hanya dalam
batas kemampuannya, tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya
yang hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas
berkata: Tuhan Maha Adil!.

Saya tergugu. Betapa buruknya kita di hadapan seorang Slamet. Kita yang
intelek dan terpandang, dipenuhi dengan berbagai nikmat, namun masih
merasa tidak cukup. Seringkali protes ketika hanya mendapat sebuah
ujian. Menjadi bebal dan keras hati oleh berlimpahnya materi dan kedudukan.
Hati yang tulus dan lembut masih ada bahkan banyak, bertebaran memenuhi
persada. Memeliharanya memang sulit namun bukan sesuatu yang mustahil.
Dunia yang keras dan culas tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk
menumpulkan dan membekukannya. Karena kebaikan dan kelembutan hati
bukanlah suatu hal bodoh dan sia-sia dalam dunia yang bergetah ini.
Tidak ada ruginya bukan memiliki kebaikan hati?
Demi kemajuan kita semua segeralah bergabung bersama kami di Fans Page :Broken Heart Survival Guide, untuk mendapatkan materi-materi berkualitas lainnya untuk sebuah infestasi besar dalam hidup Anda.

Indahnya berbagi cerita dan cinta terhadap orang lain seperti Anda.


Salam revolusi cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar